img

Gudo, Jombang – MWCNU Gudo Online – Belakangan ini, fenomena penggunaan “sound horeg” atau pengeras suara bertenaga besar dalam berbagai acara hiburan, karnaval, hingga kontes sound system semakin marak, termasuk di wilayah Gudo dan sekitarnya. Meski dianggap sebagai bentuk hiburan rakyat, penggunaan sound dengan suara sangat keras ini mulai menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat, terutama karena efek bisingnya yang mengganggu lingkungan, anak kecil, lansia, bahkan ibadah.

Menanggapi fenomena tersebut, sejumlah ulama dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dari berbagai daerah mulai angkat suara. Mereka menilai penggunaan sound horeg yang berlebihan tidak hanya melanggar norma sosial dan etika, tetapi berpotensi haram jika menimbulkan mudarat (kerusakan) yang lebih besar daripada manfaatnya.

Pandangan Ulama Haram Bila Merusak dan Mengganggu
Dalam kajian fikih Islam, segala sesuatu yang mengganggu hak orang lain, merusak ketenteraman, atau menyebabkan mudarat masuk dalam kategori perbuatan tercela. Bahkan bisa menjadi haram jika memenuhi unsur-unsur tertentu.

Ustad AHMAD SALAM (CAK MAD), dalam beberapa kesempatan mengingatkan bahwa Islam mengajarkan untuk tidak menyakiti orang lain, termasuk lewat suara. Dalam konteks ini, suara yang terlalu keras dari sound horeg bisa menimbulkan gangguan psikis dan fisik kepada masyarakat sekitar.

“Kalau sudah mengganggu ketenteraman warga, apalagi ada bayi yang menangis, orang tua yang stres, itu tidak dibenarkan dalam Islam. Bahkan bisa haram.” – salah satu kiai muda NU di Gudo.

Hukum Sound Horeg dalam Perspektif Fikih
Dalam Qawaid Fiqhiyyah (kaidah fikih), terdapat prinsip:

“La dharar wa la dhirar.”
(Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.)

 

Sound horeg yang menimbulkan kebisingan ekstrem, apalagi tanpa izin dan merambah ke area publik seperti masjid, sekolah, atau pemukiman padat, jelas bertentangan dengan kaidah tersebut.
Suara Bising: Mengganggu Kesehatan dan Ibadah

Warga di beberapa desa di Gudo mengeluhkan bahwa acara dengan sound horeg seringkali digelar hingga tengah malam, bahkan pada malam Jumat atau hari-hari besar Islam. Ini tentu mengganggu kegiatan keagamaan dan ibadah, seperti tahlilan, ngaji, dan salat malam.

Selain itu, kebisingan suara hingga 110-120 dB (desibel) bisa merusak pendengaran dan memicu stres. Berdasarkan WHO, paparan suara keras dalam jangka waktu tertentu dapat menyebabkan gangguan tidur, tekanan darah tinggi, dan gangguan mental ringan.

Seruan MWC NU Gudo
Menanggapi situasi ini, MWCNU Gudo mendorong semua pihak untuk lebih bijak dan bermartabat dalam menyelenggarakan hiburan rakyat. Tradisi dan kebudayaan lokal harus tetap dijaga, namun tidak boleh sampai menyalahi syariat dan merusak kenyamanan sosial.

“Kami mendukung kearifan lokal, namun harus sesuai adab dan aturan. Sound horeg berlebihan itu jelas lebih banyak mudaratnya.” – Perwakilan MWCNU Gudo

 

Hiburan Tak Harus Berisik
Islam tidak melarang hiburan selama tidak melanggar syariat. Namun, ketika hiburan berubah menjadi ajang pamer volume, menimbulkan kebisingan tak terkendali, serta mengganggu lingkungan dan ibadah, maka sudah saatnya masyarakat mengevaluasi. Jangan sampai tradisi yang mulanya bertujuan meramaikan kampung justru menimbulkan dosa dan permusuhan.

Mari bijak dalam bersuara, agar hidup tetap harmoni, ibadah tetap khusyuk, dan masyarakat tetap damai.

Disusun oleh: Tim Redaksi MWCNU Gudo
Tanggal Rilis: 24 Juli 2025

Sumber Rujukan:
  • Kitab Al-Ashbah wa al-Nadha’ir, Imam As-Suyuthi
  • Kompilasi Fatwa MUI
  • Pandangan Kiai dan Ulama NU se-Jawa Timur