Fenomena sound horeg kini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Istilah ini merujuk pada penggunaan sound system berdaya besar dengan volume maksimal, sering kali menghasilkan dentuman bass yang berlebihan, hingga radius beberapa kilometer pun bisa mendengarnya. Mulanya, sound horeg identik dengan acara hajatan, karnaval, hingga konser dangdut. Namun dalam perkembangannya, fenomena ini justru merambah ke ranah kegiatan keagamaan: pengajian akbar, haul, diba’, hingga sholawatan.

Di satu sisi, para ulama dan kiai telah lama menyampaikan fatwa dan nasihat bahwa umat Islam wajib menjaga ketentraman masyarakat. Suara berlebihan yang mengganggu tetangga, ibadah, bahkan kesehatan, jelas bertentangan dengan prinsip la dharar wa la dhirar (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain). Namun di sisi lain, realitas di lapangan menunjukkan hal yang kontradiktif: banyak pengajian justru memakai sound horeg, dan ulama pun sering terlibat di dalamnya.

Fenomena inilah yang menimbulkan pertanyaan kritis, kenapa fatwa ulama tidak mempan? Apakah karena masyarakat ngeyel? Ataukah karena ulama sendiri kurang memberi teladan nyata?

Sound Horeg Dari Hiburan ke Ritual
Sound horeg awalnya tumbuh dari budaya hiburan rakyat. Masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah sering berlomba-lomba menghadirkan sound system paling besar saat acara pesta. Ada kebanggaan tersendiri jika hajatan mereka terdengar “sampai desa sebelah”.

Namun seiring berkembangnya tren, sound horeg mulai masuk ke ranah religius. Banyak panitia pengajian besar yang menyewa sound system raksasa. Alasannya :
  1. Agar jamaah ribuan orang bisa mendengar jelas.
  2. Agar acara terlihat megah dan prestisius.
  3. Untuk menyaingi acara lain yang juga memakai sound besar.

Akhirnya, acara pengajian yang seharusnya menjadi ajang menenangkan hati justru berubah menjadi kompetisi volume suara. Ironisnya, fatwa ulama yang menekankan adab dalam bermusik dan menjaga ketentraman tidak diindahkan.

Ulama dan Fatwa Bilhikmah
Dalam tradisi Islam, ulama adalah pewaris para nabi. Fatwa ulama ibarat cahaya yang menerangi jalan umat. Namun, dalam konteks sound horeg, fatwa tersebut sering hanya terdengar sebagai “suara di atas mimbar” tanpa daya paksa.

Mengapa? Karena mayoritas ulama menyampaikan fatwanya bilhikmah lewat nasihat lembut, khutbah, atau ceramah. Jarang sekali ulama menggunakan jalur bilhal mencontohkan langsung dengan tindakan nyata.

Padahal, masyarakat lebih mudah meniru perbuatan daripada sekadar mendengar nasihat. Ketika ulama hanya menyampaikan fatwa tapi pada saat yang sama tetap hadir dalam acara dengan sound horeg, bahkan ikut memimpin sholawatan yang menggunakan sound besar, maka fatwanya kehilangan wibawa, akhirnya dianggap sekadar memberi petuah, bukan teladan.

Kontradiksi Fatwa vs Realita
Kontradiksi inilah yang membuat fatwa ulama soal sound horeg menjadi “tak mempan”. Di satu sisi, mereka menekankan pentingnya menjaga adab dan ketentraman. Namun di sisi lain, mereka justru terlibat dalam praktik penggunaan sound horeg.

Hal ini menimbulkan beberapa dampak :
  • Kebingungan Jamaah 
Masyarakat awam bingung: mana yang benar? Kalau sound horeg haram, kenapa pengajian besar pakai? Kalau harus menjaga ketentraman, kenapa kiai membiarkan panitia memasang sound jedag-jedug?
  • Fatwa Kehilangan Pamor
Ketika ucapan tidak sejalan dengan tindakan, fatwa kehilangan wibawanya. Jamaah bisa saja berkata, “Lha wong kiainya wae nganggo sound horeg, mosok aku ora oleh?”
  • Krisis Teladan
Ulama sebagai figur moral semestinya memberi contoh. Ketika contoh tidak ada, jamaah cenderung memilih budaya populer ketimbang fatwa.
Mengapa Ulama Ikut Terjebak?

Pertanyaan berikutnya: kenapa ulama ikut menggunakan sound horeg? Ada beberapa faktor :
  • Faktor Teknis
Pengajian akbar biasanya dihadiri ribuan jamaah. Panitia merasa perlu menyewa sound besar agar semua bisa mendengar.
  • Faktor Sosial-Budaya
Di banyak tempat, pengajian dianggap kurang meriah tanpa sound besar. Volume keras menjadi simbol kemegahan acara.
  • Faktor Panitia Lebih Dominan
Kadang ulama hanya diundang untuk mengisi ceramah. Urusan sound sudah diatur panitia, dan kiai jarang ikut campur dalam teknis.
  • Faktor Pamor dan Gengsi
Ada anggapan bahwa pengajian dengan sound besar lebih “wah”, lebih “pamor”. Bahkan sebagian jamaah merasa bangga jika acara mereka terdengar sampai jauh.


Dampak Negatif Sound Horeg
  • Gangguan Kesehatan
Suara keras bisa merusak pendengaran, mengganggu bayi, lansia, bahkan memicu stres.
Gangguan Ibadah
Adzan, sholat, atau pengajian di masjid sekitar bisa terganggu oleh dentuman bass yang tak kenal waktu.
  • Konflik Sosial
Tidak jarang terjadi cekcok antarwarga karena acara dengan sound horeg mengganggu tetangga.
  • Citra Buruk Agama
Ketika pengajian identik dengan kebisingan, masyarakat non-muslim atau yang berbeda pandangan bisa menganggap Islam tidak ramah lingkungan.

Fatwa Tanpa Teladan Fatwa Tak Mempan
Dari sini jelas bahwa fatwa ulama tidak mempan bukan semata-mata karena jamaah ngeyel, tapi juga karena ulama kurang memberi teladan nyata.

Fatwa tanpa teladan ibarat lampu tanpa cahaya. Ucapannya ada, tapi penerangannya tak sampai. Ulama perlu menunjukkan bilhal, bukan sekadar bilhikmah.

Solusi Kembali ke Uswatun Hasanah
  • Ulama Menjadi Teladan
Ulama harus mulai dari diri sendiri. Jika diundang di acara dengan sound horeg, berani menyampaikan agar volume dikurangi. Jika mengadakan acara, beri contoh dengan sound secukupnya.
  • Panitia Diberi Edukasi
Panitia pengajian perlu diarahkan bahwa kemegahan tidak harus ditunjukkan lewat sound besar, tapi lewat keberkahan acara.
  • Aturan Desa dan Pemerintah
Perlu ada regulasi soal batas volume dan waktu. Ini bukan untuk mematikan tradisi, tapi untuk menjaga ketertiban bersama.
  • Edukasi Masyarakat
Jamaah perlu diedukasi bahwa tujuan pengajian adalah mencari ilmu dan berkah, bukan memamerkan sound system.

Sound horeg adalah fenomena sosial-budaya sekaligus religius. Ulama sudah memberi fatwa, namun fatwa tanpa teladan hanya menjadi suara tanpa daya.

Masyarakat membutuhkan bukan hanya kata-kata, tetapi juga contoh nyata. Jika ulama mampu menunjukkan bilhal, bukan sekadar bilhikmah, insyaAllah fatwa akan lebih dihormati.

Akhirnya, kita berdoa :
“Ya Allah, jadikanlah para ulama kami bukan hanya pemberi nasihat, tetapi juga teladan hidup. Semoga setiap pengajian menjadi sumber kedamaian, bukan kebisingan.”

Kontributor Tim LTN MWCNU Gudo