Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Indonesia selalu disambut dengan gegap gempita. Masjid-masjid dihiasi, shalawat bergema, dan ceramah bergulir. Namun, di balik keramaian itu, kita perlu bertanya dengan jujur.  Apakah Maulid Nabi sekadar seremoni tahunan atau benar-benar menjadi momentum menghidupkan akhlak Rasulullah di tengah zaman modern yang hedonistik?.

Tulisan kali ini mengajak kita merenung lebih dalam agar Maulid tidak berhenti pada simbol, tetapi menjadi panggilan moral untuk meneladani kesederhanaan, kejujuran, dan keberanian Nabi dalam kehidupan nyata. Sebab perbedaan antara seremoni dan substansi sering kali begitu tipis, bahkan hampir tak terlihat.
 
Nabi di Tengah Zaman Jahiliyah
Nabi Muhammad SAW lahir di tengah masyarakat jahiliyah yang sakit, mabuk kekuasaan, mabuk harta, terjebak pada kesombongan, kekerasan, dan ilusi kemuliaan semu. Hedonisme kala itu tidak jauh berbeda dengan wajah dunia modern saat ini, sebuah peradaban yang tampak maju, tetapi rapuh secara moral.

Rasulullah hadir membawa pencerahan, bukan dengan pidato kosong, melainkan dengan keteladanan hidup. Beliau dikenal sebagai al-amin jauh sebelum diangkat menjadi nabi. Kejujurannya dalam berdagang, kesederhanaannya dalam hidup, serta keberaniannya menentang struktur sosial yang timpang adalah revolusi senyap yang lebih tajam dari seribu khutbah.

Jahiliyah Modern Antara Hedonisme dan Kepalsuan
Ironisnya, umat Islam kini justru kembali tenggelam dalam dunia jahiliyah versi modern. Hedonisme dipuja, materialisme diagungkan, sementara kemunafikan sosial dipelihara.

Media sosial menjelma panggung kepalsuan, di mana manusia sibuk membangun citra, bukan karakter. Kita lantang melantunkan shalawat, tetapi tetap culas dalam bisnis, manipulatif dalam politik, rakus dalam jabatan, dan gemar menipu dalam relasi sosial.

Kita merayakan kelahiran Nabi, tetapi sekaligus membunuh teladannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah ini paradoks paling menyakitkan bagi umat yang mengaku sebagai pewaris risalah?

Maulid Bukan Romantisme, Tetapi Ujian
Maulid seharusnya tidak berhenti pada romantisme sejarah. Ia adalah momen untuk menguji keberanian kita meneladani akhlak Nabi di tengah derasnya arus dunia modern yang mengajarkan kepura-puraan.

Kita harus berani mengakui bahwa umat Islam hari ini sering kali hanya pandai mengagungkan simbol, tetapi gagal menghidupkan substansi. Kita membanggakan identitas keislaman, tetapi tetap tunduk pada godaan uang, pangkat, dan popularitas. Kita mengklaim mencintai Nabi, tetapi jarang mewujudkannya dalam kejujuran, kesederhanaan, dan solidaritas.

Lonceng Kesadaran Moral
Dalam konteks ini, peringatan Maulid harus menjadi lonceng peringatan keras, bukan sekadar pesta spiritual. Mencintai Nabi berarti menolak segala bentuk kemunafikan. Mengagungkan Nabi berarti berani melawan sistem korup, budaya konsumtif, dan ilusi hidup glamor yang menipu.

Meneladani Nabi berarti berani hidup sederhana di tengah dunia yang menjual kemewahan sebagai standar martabat. Tanpa keberanian moral semacam itu, Maulid Nabi hanya akan menjadi panggung seremonial yang kian jauh dari ruh Islam itu sendiri.

Pertanyaan yang Harus Menggema
Islam pernah berjaya bukan karena kemegahan seremoni, melainkan karena akhlak Nabi terhidupkan dalam kehidupan nyata. Maka, pertanyaan yang seharusnya menggema di setiap peringatan Maulid adalah. Seberapa dalam kita berani menjadikan hidup kita cermin dari teladan Rasulullah?

Jika tidak, maka Maulid hanya akan menambah daftar panjang kepalsuan zaman ini indah di permukaan, hampa di dalam.

MWC NU GUDO mengajak kita semua menjadikan Maulid sebagai jalan memperbarui akhlak, bukan sekadar seremoni. Semoga Allah SWT menuntun langkah kita meneladani Rasulullah dengan hati yang jujur, hidup yang sederhana, dan amal yang penuh keberkahan.

Kontributor Tim LTN MWC NU GUDO