Ngobrol santai, ketawa kecil-kecil, tapi isi obrolannya gede-gede.
Ngobrol soal santri zaman sekarang yang nggak cukup cuma jago baca kitab, tapi juga harus jago baca zaman.

Kalau dulu, santri identik dengan kitab kuning, pengajian, sorogan, dan bandongan, sekarang santri juga ditantang buat ngerti coding, media sosial, ekonomi digital, bahkan geopolitik. Dunia ini gesit banget. Teknologi tiap hari update. Tantangan makin rumit.

Santri Dari Pesantren ke Peradaban
Sejarah sudah membuktikan, para kiai dan santri dulu jadi pelopor pergerakan dan kemerdekaan. Mereka baca kitab, iya. Tapi mereka juga jago baca zaman. Dari resolusi jihad Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sampai peran ulama dalam diplomasi, semua lahir dari kemampuan menimbang kitab dan zaman sekaligus.

Nah, sekarang giliran kita. Kalau dulu para kiai jadi pelopor pergerakan, sekarang tugas kita menyiapkan santri jadi pelopor perubahan. Perubahan yang bukan sekadar ikut-ikutan tren, tapi perubahan yang menjaga akar.
 
Adaptif, Bukan Terseret
Adaptif itu bukan berarti meninggalkan akar tradisi. Justru sebaliknya, memperkuatnya biar relevan. Santri adaptif itu ibarat sarung multifungsi. Bisa buat ngaji, bisa buat kerja, bisa jadi selimut setelah tahlilan, bahkan bisa jadi ikon fashion show di Milan.

Sarung tetap sarung, tapi fungsinya bisa luas. Nah, begitu juga santri: tetap santri dengan akhlak, ilmu, dan sanadnya, tapi juga relevan dengan zaman.
 
Jangan Cuma Baca Kitab, Tapi Buta Zaman
Masalahnya, banyak yang masih terjebak.
Ada santri yang merasa cukup dengan baca kitab, tapi tutup mata dengan realitas zaman. Akhirnya pintar mengutip kitab, tapi gagap saat ditanya soal tantangan digital. Ada juga yang sebaliknya: terlalu sibuk ngejar tren, sampai lupa akarnya di pesantren.

Keseimbangan ini yang sering hilang. Padahal, kiai-kiai kita dulu itu jagonya main di dua kaki: satu di kitab, satu di zaman.
 
NU Bukan Panggung Raja Kecil
Nah, ada satu fenomena yang juga harus dikritik.
Di tubuh NU, sering muncul “raja-raja kecil” — orang-orang yang kontribusinya tipis, tapi ambisinya maksimal. Belum sempat keringatnya jatuh untuk umat, sudah sibuk berebut jabatan. Belum sempat ngopeni kegiatan, sudah sibuk pasang foto dengan gelar pengurus.

Ironisnya, kadang ini juga santri. Baru hafal beberapa kitab, baru ikut beberapa kegiatan, langsung merasa punya tiket jadi tokoh NU. Padahal NU tidak butuh raja kecil, NU butuh pelayan umat.

Kalau kontribusi minim, jangan berlagak jadi pengatur arah. Kalau hanya ingin status, jangan sembunyi di balik bendera NU. Kalau mau dihormati, buktikan dulu dengan khidmat nyata.

NU itu lahir dari darah, keringat, dan air mata para ulama dan santri yang mengorbankan banyak hal. Jadi, sangat tidak pantas kalau sekarang ada yang menjadikan NU sekadar tangga karir atau ruang gengsi.
Santri NU Pelayan, Bukan Raja

Santri yang benar-benar baca kitab dan baca zaman akan paham bahwa jabatan itu amanah, bukan tujuan. Kalau hari ini ada santri yang cuma ingin “jadi orang penting” di NU tanpa kontribusi, itu sama saja sedang memperkecil NU jadi arena ego, bukan memperbesar NU sebagai rumah bersama.

NU itu besar bukan karena banyaknya pengurus, tapi karena dalamnya khidmat. Kalau semua ingin jadi raja kecil, siapa yang mau jadi pelayan?

Maka pesan ini perlu ditegaskan: santri NU jangan terjebak euforia jabatan.
Yang dibutuhkan bukan raja kecil, tapi generasi penggerak yang tulus mengabdi.
Santri Baca Zaman = Santri Pemimpin

Masa depan Indonesia ada di tangan generasi sekarang. Kalau santri bisa baca kitab sekaligus baca zaman, maka ia siap jadi pemimpin. Bukan pemimpin yang lahir karena SK, tapi karena karya. Bukan pemimpin yang haus hormat, tapi yang memberi manfaat.

Santri baca kitab = punya dasar kuat.
Santri baca zaman = punya arah jelas.
Kalau keduanya disatukan, lahirlah santri yang bukan hanya ahli ibadah, tapi juga ahli peradaban.

Kitab + Zaman = Khidmat
Santri adaptif bukan berarti santri pragmatis. Santri adaptif artinya santri yang kokoh pada akar tradisi, tapi lentur menghadapi perubahan. Baca kitab itu wajib, baca zaman juga wajib. Dua-duanya harus jalan bareng.

Kalau kita cuma baca kitab tanpa baca zaman, kita ketinggalan. Kalau kita cuma baca zaman tanpa kitab, kita kehilangan arah. Tapi kalau keduanya berjalan seiring, santri bisa jadi cahaya di tengah gelapnya dunia modern.

Dan yang paling penting jangan sampai lupa bahwa khidmat di NU bukan soal jadi raja kecil, tapi soal jadi pelayan besar. Karena NU ini bukan milik satu orang, tapi milik umat.