Kerja sedikit, tapi ingin tampil banyak. Sebuah kritik reflektif dari santri untuk menjaga marwah organisasi.


Dalam perjalanan organisasi, selalu ada dinamika menarik. Ada orang-orang yang bekerja tulus, mengabdi tanpa pamrih, siap hadir di garda terdepan untuk umat. Namun, tidak sedikit pula yang justru hadir dengan mental “raja kecil”: kerja sedikit, bicara banyak, ingin dihormati, ingin tampil di depan, tapi minim kontribusi nyata.

Fenomena ini bukan barang baru. Dalam setiap struktur organisasi, selalu ada sosok yang sibuk menjaga pencitraan daripada kerja nyata. Bagi kalangan santri, fenomena ini penting dikritisi agar organisasi tetap sehat, tidak hanya dikuasai gengsi dan simbol belaka.


Siapa yang Disebut Raja Kecil?

  • Kerja dikit tapi ingin terlihat banyak.
  • Lebih sibuk foto, absen, dan tampil di media sosial ketimbang turun ke lapangan.
  • Mengukur kontribusi dengan simbol dan atribut, bukan dengan kerja nyata.
  • Merasa paling berhak dihormati, padahal jarang hadir di medan kerja.

Santri yang terbiasa dengan kultur keikhlasan akan merasa geli sekaligus prihatin melihat fenomena ini.


Budaya Gengsi di Organisasi

Dalam organisasi, gengsi sering menjadi racun. Banyak orang ingin tampil di panggung, tapi lupa ada kerja-kerja sunyi di balik layar. Padahal, sejati pengabdian bukanlah soal sorotan kamera, melainkan soal ketulusan bekerja untuk umat.

Fenomena raja kecil inilah contoh nyata bagaimana gengsi bisa mengalahkan esensi. Mereka ingin dikenang tanpa berkeringat, ingin dihormati tanpa berkorban.


Mengikuti Arus vs Melawan Arus

Fenomena ini bisa dibaca dengan kacamata mengikuti arus dan melawan arus:

  • Mengikuti arus: banyak orang memilih diam, tidak mengkritisi, membiarkan raja kecil tetap bermain peran. Alasannya sederhana: “yang penting aman.”
  • Melawan arus: ada pula yang berani bicara, mengingatkan, bahkan mengkritik. Santri yang melawan arus akan berkata: “Pengabdian itu bukan untuk dipajang, tapi untuk dirasakan manfaatnya oleh umat.”

Dalam konteks ini, kritik kepada raja kecil adalah bagian dari melawan arus negatif.


Santri dan Kerja Nyata

Santri sejak kecil dididik dengan kerja nyata: bangun subuh, ngaji, bersih-bersih, membantu kiai, tanpa berharap tepuk tangan. Budaya ini sangat bertolak belakang dengan gaya raja kecil yang sibuk menjaga citra.

Santri paham bahwa kerja ikhlas meski tidak terlihat lebih bernilai daripada pencitraan kosong. Karena itu, ketika masuk ke dalam struktur atau organisasi masyarakat, santri akan terbiasa dengan kerja kolektif, bukan kerja pura-pura.


Bahaya Fenomena Raja Kecil bagi Organisasi

  1. Melemahkan semangat kerja tim. Orang yang sungguh-sungguh bekerja bisa merasa dikecewakan.
  2. Menciptakan budaya feodal. Menghormati bukan karena kinerja, tapi karena simbol.
  3. Menjadi racun regenerasi. Generasi muda bisa salah meniru “Kalau mau dihormati, tak perlu kerja, cukup pencitraan.”

Padahal, NU dan pesantren mengajarkan sebaliknya: berjuang dengan ikhlas, kerja dengan barokah, bukan sekadar gelar dan posisi.


Belajar dari Sejarah Santri dan Ulama NU

Sejarah NU penuh dengan teladan ulama dan santri yang anti gengsi. KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren bukan untuk tampil gagah, tapi untuk mencetak generasi. Gus Dur mengorbankan jabatan demi prinsip.

Mereka bukan raja kecil, melainkan raja besar dalam makna sejati dihormati karena karya, bukan karena pencitraan.


Kritik Santun ala Santri

Santri terbiasa mengkritik dengan santun. Mengingatkan tanpa mencederai. Maka, kritik kepada raja kecil sebaiknya diarahkan seperti ini:

  • Ajak kembali pada semangat khidmah (pengabdian).
  • Ingatkan bahwa jabatan hanyalah titipan, bukan panggung kemegahan.
  • Tekankan bahwa kerja nyata lebih tahan lama daripada pencitraan sesaat.

Refleksi untuk LTN MWC NU Gudo

Sebagai bagian dari LTN, santri punya tugas menjaga narasi, wacana, dan literasi. Kritik kepada raja kecil bukan untuk merendahkan, melainkan untuk menyelamatkan marwah organisasi.

LTN MWC NU Gudo ingin menegaskan bahwa organisasi bukan tempat bermain-main. Ia adalah wadah pengabdian. Di dalamnya, santri harus berani melawan arus raja kecil, dan memilih arus kerja nyata.

Fenomena raja kecil yang kerja sedikit tapi ingin tampil banyak hanyalah bayangan semu. Ia mungkin bertahan sebentar di panggung, tapi akan cepat hilang tanpa jejak.

Sebaliknya, kerja nyata santri—meski tanpa sorotan kamera—akan selalu dikenang, dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dan dicatat sebagai amal jariyah di sisi Allah.

Maka, mari kita renungkan: ingin jadi raja kecil yang cepat dilupakan, atau santri pejuang yang barokahnya langgeng?


Kontributor. LTN MWC NU Gudo