Di tengah kenyataan ini, muncul pertanyaan penting: bagaimana umat Islam harus bersikap, terutama terkait ibadah dan muamalah, ketika bencana menimpa? Apakah shalat tetap wajib meski dalam kondisi darurat? Bagaimana tata cara bersuci ketika air dan debu sulit ditemukan? Bagaimana pula mengurus jenazah korban bencana dengan kondisi tubuh yang rusak atau tidak utuh?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kemudian dijawab melalui lahirnya sebuah karya monumental dari kalangan ulama Nahdlatul Ulama (NU), yakni buku Fikih Kebencanaan Perspektif NU. Buku ini disusun melalui Bahtsul Masail Maudhuiyah PWNU Jawa Timur yang digelar di Pesantren Al-Falah, Geger, Madiun pada 12–13 Januari 2019.
Latar Belakang Penyusunan
Buku Fikih Kebencanaan lahir dari keprihatinan sekaligus kepedulian NU terhadap realitas kebencanaan di Indonesia. Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Jawa Timur berkolaborasi dengan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) NU untuk merumuskan panduan yang aplikatif, sesuai dengan prinsip fikih Syafi’iyah, namun tetap memperhatikan konteks kebencanaan.
Dalam forum tersebut, para kiai dan ulama muda mendiskusikan berbagai persoalan praktis yang sering muncul di lapangan. Misalnya, bagaimana bersuci ketika tidak ada air maupun debu? Bagaimana hukum shalat di lokasi pengungsian dengan kondisi pakaian najis? Bagaimana tata cara pengurusan jenazah yang membusuk atau hanya ditemukan sebagian anggota tubuh? Hingga, bagaimana hukum penggunaan donasi, termasuk jika ada sisa bantuan bencana?
Kehadiran buku ini merupakan terobosan penting, karena sebelumnya masyarakat sering kali hanya mengandalkan fatwa atau pendapat individual dari kiai atau ustaz setempat. Dengan adanya panduan resmi ini, warga NU dan umat Islam pada umumnya dapat memiliki pegangan yang lebih kuat dan seragam.
Buku Fikih Kebencanaan lahir dari keprihatinan sekaligus kepedulian NU terhadap realitas kebencanaan di Indonesia. Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU Jawa Timur berkolaborasi dengan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) NU untuk merumuskan panduan yang aplikatif, sesuai dengan prinsip fikih Syafi’iyah, namun tetap memperhatikan konteks kebencanaan.
Dalam forum tersebut, para kiai dan ulama muda mendiskusikan berbagai persoalan praktis yang sering muncul di lapangan. Misalnya, bagaimana bersuci ketika tidak ada air maupun debu? Bagaimana hukum shalat di lokasi pengungsian dengan kondisi pakaian najis? Bagaimana tata cara pengurusan jenazah yang membusuk atau hanya ditemukan sebagian anggota tubuh? Hingga, bagaimana hukum penggunaan donasi, termasuk jika ada sisa bantuan bencana?
Kehadiran buku ini merupakan terobosan penting, karena sebelumnya masyarakat sering kali hanya mengandalkan fatwa atau pendapat individual dari kiai atau ustaz setempat. Dengan adanya panduan resmi ini, warga NU dan umat Islam pada umumnya dapat memiliki pegangan yang lebih kuat dan seragam.
Akidah Menyikapi Bencana dengan Iman
Buku ini menegaskan bahwa bencana adalah bagian dari takdir Allah. Setiap Muslim wajib meyakini bahwa baik dan buruk semuanya berasal dari-Nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 78–79, yang menjelaskan bahwa kebaikan berasal dari Allah, sementara keburukan kembali pada ulah manusia sendiri.
Meski demikian, ulama berbeda pendapat mengenai apakah bencana merupakan azab atau ujian. Sebagian menyebut bencana sebagai bentuk azab akibat dosa, sebagian lain menilai bencana adalah musibah yang bisa menimpa siapa saja, baik orang beriman maupun tidak. Intinya, sikap terbaik seorang Muslim adalah menjadikan bencana sebagai media introspeksi dan sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Etika yang diajarkan dalam menghadapi bencana antara lain: menyelamatkan diri, bersabar, membaca istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un), berdoa, melakukan shalat sunnah, introspeksi diri, bertaubat, serta membantu korban terdampak.
Buku ini menegaskan bahwa bencana adalah bagian dari takdir Allah. Setiap Muslim wajib meyakini bahwa baik dan buruk semuanya berasal dari-Nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. An-Nisa ayat 78–79, yang menjelaskan bahwa kebaikan berasal dari Allah, sementara keburukan kembali pada ulah manusia sendiri.
Meski demikian, ulama berbeda pendapat mengenai apakah bencana merupakan azab atau ujian. Sebagian menyebut bencana sebagai bentuk azab akibat dosa, sebagian lain menilai bencana adalah musibah yang bisa menimpa siapa saja, baik orang beriman maupun tidak. Intinya, sikap terbaik seorang Muslim adalah menjadikan bencana sebagai media introspeksi dan sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Etika yang diajarkan dalam menghadapi bencana antara lain: menyelamatkan diri, bersabar, membaca istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un), berdoa, melakukan shalat sunnah, introspeksi diri, bertaubat, serta membantu korban terdampak.
Fikih Ibadah dalam Kondisi Bencana
Salah satu bagian terpenting dari buku ini adalah pembahasan mengenai ibadah. Kondisi bencana sering kali membuat syarat-syarat sah ibadah sulit terpenuhi. Namun syariat Islam memberi kelonggaran luar biasa agar ibadah tetap bisa dilakukan sesuai kemampuan.
Bersuci (Thaharah) :
Shalat dalam Kondisi Darurat :
Puasa
Fikih Jenazah dalam Situasi Bencana
Penanganan jenazah korban bencana menjadi persoalan serius. Buku ini memberikan pedoman detail:
Pencarian dan Evakuasi Jenazah: hukumnya fardhu kifayah bagi yang mampu. Namun evakuasi tidak boleh menyebabkan tubuh jenazah terpotong.
Salah satu bagian terpenting dari buku ini adalah pembahasan mengenai ibadah. Kondisi bencana sering kali membuat syarat-syarat sah ibadah sulit terpenuhi. Namun syariat Islam memberi kelonggaran luar biasa agar ibadah tetap bisa dilakukan sesuai kemampuan.
Bersuci (Thaharah) :
- Boleh menggunakan batu, tisu, atau benda lain selain air untuk bersuci, selama memenuhi syarat
- Jika tidak ada air maupun debu, maka diperbolehkan shalat li hurmatil waqt (menghormati waktu) dan mengulang shalat setelah memungkinkan.
- Orang yang terluka boleh berwudhu dengan membasuh bagian tubuh yang sehat, lalu mengusap perban atau bertayamum.
- Shalat tetap wajib, meski dalam kondisi genting. Bila tiba-tiba terjadi bencana saat shalat, seseorang boleh memutus shalat untuk menyelamatkan diri atau nyawa orang lain.
- Shalat dalam kondisi genting disebut shalat syiddah al-khauf, bisa dilakukan sambil berjalan atau naik kendaraan.
- Boleh menjamak atau mengqashar shalat dalam kondisi pengungsian atau ketika sulit menjaga waktu.
- Jika pakaian atau tempat najis dan tidak ada pengganti, tetap shalat dengan kondisi tersebut lalu diulang di waktu lain.
- Orang yang sakit atau sangat kepayahan dalam kondisi bencana boleh tidak berpuasa, tetapi tetap wajib berniat di malam hari.
- Bila benar-benar tidak mampu, maka boleh berbuka dan menggantinya di kemudian hari.
Penanganan jenazah korban bencana menjadi persoalan serius. Buku ini memberikan pedoman detail:
Pencarian dan Evakuasi Jenazah: hukumnya fardhu kifayah bagi yang mampu. Namun evakuasi tidak boleh menyebabkan tubuh jenazah terpotong.
- Memandikan Jenazah : bila tubuh rusak atau keluar darah terus-menerus, cukup ditayamumi. Jika jenazah berjumlah sangat banyak, boleh dikubur tanpa dimandikan.
- Mengafani Jenazah : jika kain kafan tidak mencukupi, bisa disempurnakan dengan bahan lain seperti rumput atau lumpur. Dalam kondisi darurat, dua atau lebih jenazah boleh dikubur dalam satu liang dengan syarat ada pemisah.
- Shalat Jenazah: tetap sah meski tanpa dimandikan, tujuannya adalah mendoakan. Shalat ghaib untuk korban yang belum ditemukan tidak diperbolehkan kecuali ada kepastian jenazah sudah dimandikan.
Muamalah dan Pengelolaan Donasi
Dalam aspek muamalah, buku ini membahas bagaimana bantuan bencana harus dikelola secara syar’i :
Kehidupan di pengungsian memunculkan tantangan tersendiri. Buku ini memberikan panduan :
Buku Fikih Kebencanaan Perspektif NU bukan hanya panduan fikih, tetapi juga pesan moral dan spiritual. Isinya menegaskan bahwa :
Dalam aspek muamalah, buku ini membahas bagaimana bantuan bencana harus dikelola secara syar’i :
- Membantu korban bencana hukumnya wajib bagi yang mampu, baik dengan tenaga maupun harta.
- Pemerintah wajib mengambil peran, tetapi jika tidak cukup maka orang kaya wajib membantu.
- Batas minimal bantuan adalah pemenuhan kebutuhan pokok: sandang, pangan, papan.
- Donasi hanya boleh digunakan sesuai izin donatur. Jika ada sisa, boleh dialihkan untuk kemaslahatan umum atau lokasi bencana lain dengan syarat transparan.
- Donasi untuk non-Muslim juga diperbolehkan, termasuk renovasi rumah ibadah atau lembaga pendidikan.
- Penggunaan sebagian donasi untuk operasional hanya boleh bila benar-benar mendesak.
- Akhlak dan Kehidupan Sosial di Pengungsian
Kehidupan di pengungsian memunculkan tantangan tersendiri. Buku ini memberikan panduan :
- Masjid boleh dijadikan tempat pengungsian, asalkan tetap dijaga kesucian dan fungsinya.
- Korban non-mahram wajib dipisahkan dengan sekat untuk mencegah fitnah.
- Dalam kondisi darurat, penggunaan harta orang lain (pakaian, makanan, minuman) diperbolehkan sebatas kebutuhan hidup, dengan kewajiban mengganti bila memungkinkan.
- Relevansi Buku bagi Masyarakat
Buku Fikih Kebencanaan Perspektif NU bukan hanya panduan fikih, tetapi juga pesan moral dan spiritual. Isinya menegaskan bahwa :
- Islam adalah agama yang fleksibel, selalu memberi jalan keluar di tengah kesulitan.
- Ibadah tetap bisa dijalankan tanpa meninggalkan esensi meski dalam kondisi darurat.
- Solidaritas sosial adalah bagian dari iman. Membantu korban bencana bukan pilihan, melainkan kewajiban.
- NU hadir bukan hanya sebagai organisasi keagamaan, tetapi juga pelayan kemanusiaan.
- Di tengah meningkatnya frekuensi bencana, buku ini sangat relevan dibaca oleh tokoh agama, relawan, pemerintah, hingga masyarakat umum.
- Ajakan Mengunduh Buku
- Sebagai bentuk kepedulian terhadap umat, NU Jawa Timur menyediakan buku Fikih Kebencanaan
Perspektif NU untuk diunduh secara gratis.
Segera unduh dan pelajari buku ini melalui tautan resmi NU.
Dengan mengunduh dan membacanya, kita tidak hanya memperkaya pengetahuan fikih, tetapi juga memperkuat kesiapan mental dan spiritual dalam menghadapi bencana.
Buku ini adalah warisan intelektual yang akan menjadi pegangan penting bagi generasi sekarang dan mendatang. Mari jadikan setiap bencana sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, memperkuat solidaritas sosial, dan membangun ketangguhan bangsa.
Segera unduh dan pelajari buku ini melalui tautan resmi NU.
Dengan mengunduh dan membacanya, kita tidak hanya memperkaya pengetahuan fikih, tetapi juga memperkuat kesiapan mental dan spiritual dalam menghadapi bencana.
Buku ini adalah warisan intelektual yang akan menjadi pegangan penting bagi generasi sekarang dan mendatang. Mari jadikan setiap bencana sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, memperkuat solidaritas sosial, dan membangun ketangguhan bangsa.
Dengan lahirnya buku Fikih Kebencanaan Perspektif NU, umat Islam di Indonesia kini memiliki panduan komprehensif untuk menghadapi bencana. Mulai dari urusan akidah, ibadah, muamalah, hingga akhlak dalam kondisi darurat, semuanya dibahas secara detail dan aplikatif.
Mari bersama-sama menyebarkan karya ini, agar semakin banyak masyarakat yang memiliki pegangan fikih dalam menghadapi bencana. Karena di negeri rawan bencana seperti Indonesia, ilmu dan kesiapan adalah kunci keselamatan.
Mari bersama-sama menyebarkan karya ini, agar semakin banyak masyarakat yang memiliki pegangan fikih dalam menghadapi bencana. Karena di negeri rawan bencana seperti Indonesia, ilmu dan kesiapan adalah kunci keselamatan.
Buku ini bisa diunduh secara gratis melalui tautan berikut:
👉 Download Fikih Kebencanaan Perspektif NU (PDF)
Segera unduh, baca, dan sebarkan agar semakin banyak masyarakat memiliki panduan fikih dalam menghadapi bencana.
Kontributor : Tim LTN MWC NU Gudo
0Komentar